Ketika Masa ‘Iddah Bertemu Dengan Panggilan ke Baitullah: Apa Kata Syariat?

Kategori : Umrah, Tips, Ditulis pada : 14 November 2025, 15:00:49

Ditulis oleh: Windy Fuji, SE

Kerinduan umat Islam untuk memenuhi panggilan Allah ke Tanah Suci merupakan fitrah keimanan. Ada saat ketika kerinduan tersebut begitu dekat, namun bagaimana jika panggailan mulia tersebut justru datang di saat yang penuh ujian? ketika seorang wanita tengah menjalani masa ‘iddah, masa penantian dan perenungan setelah perpisahan dengan suaminya, apakah ia diperbolehkan untuk berangkat memenuhi panggilan Allah tersebut atau justru menunda langkah suci itu hingga masa ‘iddah berakhir?

Pertanyaan ini kerap muncul di hati para wanita beriman, dan jawabannya perlu kita telusuri lebih dalam apa sebenarnya makna ‘iddah dan bagaimana syariat Islam memandang situasi ini.

1. Dari Makna Hingga Hikmah Masa ‘iddah

Ilustrasi seorang istri yang ditinggal suaminya

A. Makna Masa ‘iddah

‘Iddah adalah masa tunggu yang wajib dijalani seorang wanita setelah berpisah dengan suaminya, baik karena perceraian maupun kematian suami. Sebagaimana dalam firman Allah dalam Al- Qur’an: “Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu serta meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya selama empat bulan sepuluh hari.” (Terjemah Q.S Al Baqarah: 234)

B. Ketentuan Jangka Waktu Dalam Masa ‘iddah

  • Jangka Waktu Masa ‘iddah Ketika Suaminya Meninggal.
    1. Ketika terjadi dalam keadaan istri sedang hamil maka masa ‘iddahnya adalah sampai dia melahirkan.
    2. Ketika istri tidak hamil, baik dalam keadaan ia sudah baligh maupun belum baligh, dia masih haid (menstruasi) maupun tidak mengalami haid atau sudah tidak haid (menopause) maka masa ‘iddahnya adalah 4 (empat) bulan 10 (sepuluh hari).
  • Jangka Waktu Masa ‘iddah Ketika Diceraikan Suami.
    1. Ketika belum dijimak (disetubuhi) maka tidak ada masa ‘iddah bagi istri tersebut.
    2. Ketika sang istri hamil maka masa ‘iddahnya adalah sampai melahirkan.
    3. Ketika tidak sedang hamil dan masih haid (menstruasi) maka masa ‘iddahnya adalah 3 (tiga) kali quru’ (masa haid atau suci).
    4. Ketika sang istri belum baligh, tidak mengalami haid atau sudah menoupause (sudah tidak haid) maka masa ‘iddahnya adalah 3 (tiga) bulan.

C. Hukum Wanita yang Menjalani Masa 'Iddah

Hukum menjalani masa ‘iddah adalah wajib sebagai wanita Muslimah. Dalam masa ini, Islam mengajarkan beberapa aturan yang harus dijaga sebagai bentuk ketaatan dan penghormatan terhadap ketentuan Allah.

  • Menjaga diri dari berhias. Selama masa ‘iddah, seorang wanita dilarang berhias atau mempercantik diri. Termasuk di dalamnya memakai perhiasan dari emas, perak, atau batu mulia seperti cincin, kalung, dan anting. Ia juga tidak diperbolehkan mengenakan pakaian yang mencolok, glamor, atau beraroma wangi, serta tidak memakai parfum atau busana berhias bordir yang menarik perhatian.
  • Tidak keluar rumah kecuali dalam keadaan mendesak. Seorang wanita yang sedang ‘iddah wajib menetap di rumahnya, kecuali jika ada keadaan darurat atau kebutuhan penting, seperti harus berobat, bekerja untuk kebutuhan mendesak, atau menghadapi bencana. Hal ini bertujuan menjaga kehormatan dan ketenangan dirinya.
  • Tidak boleh menikah atau dilamar. Selama masa ‘iddah, wanita tidak boleh menerima lamaran atau menikah dengan laki-laki lain. Masa ini merupakan waktu tunggu yang ditetapkan Allah untuk memastikan kebersihan nasab dan memberi ruang bagi introspeksi diri.
  • Keringanan bagi wanita yang diceraikan. Bagi wanita yang dalam masa ‘iddah karena perceraian, diperbolehkan keluar rumah untuk keperluan penting, asalkan tetap menjaga adab dan kehormatannya.

D. Hikmah Masa 'Iddah

  • Menjaga Kejelasan Nasab. Masa ‘iddah mencegah percampuran nasab jika wanita tersebut hamil, sehingga anak yang lahir memiliki garis keturunan yang jelas dan sah menurut syariat.
  • Memberi Waktu untuk Refleksi dan Pemulihan Emosional. Setelah perceraian atau kematian suami, masa ‘iddah memberi ruang bagi wanita untuk menenangkan diri, merenung, dan memulihkan kondisi psikologisnya sebelum memulai hubungan baru.
  • Menjaga Kehormatan dan Martabat Wanita. Larangan menikah selama ‘iddah menunjukkan penghormatan terhadap ikatan pernikahan sebelumnya dan menjaga citra serta kehormatan wanita di mata masyarakat.
  • Mematuhi Perintah Syariat. Masa ‘iddah adalah bagian dari hukum Islam yang bersumber dari Al-Qur’an (Al-Baqarah: 228) dan hadis Nabi. Menjalankannya adalah bentuk ketaatan kepada Allah dan menjaga ketertiban hukum keluarga.
  • Memberi Kesempatan untuk Rujuk. Dalam kasus talak raj’i (talak satu atau dua), masa ‘iddah memberi kesempatan bagi suami dan istri untuk rujuk tanpa akad baru, sehingga bisa memperbaiki hubungan rumah tangga.
  • Menghindari Keputusan Tergesa-gesa. Masa ‘iddah mencegah wanita mengambil keputusan emosional atau impulsif seperti menikah kembali terlalu cepat, yang bisa berdampak buruk secara sosial dan pribadi.

2. Makna dan Bentuk Panggilan Allah

seorang wanita yang sedang merasa terharu di depan kabah

Istilah “memenuhi panggilan Allah” sering dimaknai sebagai pelaksanaan ibadah Haji dan Umrah, dua amalan agung yang menjadi wujud penghambaan tertinggi dan simbol ketundukan serta bentuk penyerahaan diri seorang hamba kepada Allah.

Allah SWT berfirman:

 “Dan di antara kewajiban manusia terhadap Allah adalah menunaikan ibadah Haji ke Baitullah, bagi siapa yang mampu mengadakan perjalanan ke sana.”

(Terjemah Q.S. Ali Imran: 97)

Haji merupakan rukun Islam kelima dan menjadi kewajiban bagi umat Islam yang mampu secara fisik, harta, dan perjalanan. Karena itu, ketika kesempatan berhaji datang, wajar bila hati seorang muslim diliputi rasa haru dan kerinduan untuk segera menjawab panggilan suci itu.

Namun demikian, dalam Islam setiap ibadah memiliki aturan dan waktu yang telah ditetapkan oleh Allah. Niat yang tulus memang penting, tetapi agar ibadah diterima dan bernilai di sisi-Nya, seorang muslim juga harus menjalankannya sesuai dengan ketentuan syariat. Maka, menjawab panggilan Allah tidak hanya dengan semangat, tetapi juga dengan ketaatan dan kesabaran mengikuti aturan yang telah Allah tetapkan.

3. Kasus Masa ‘iddah Dalam Mendapat Panggilan Haji atau Umrah

Ilustrasi Muslimah melaksanakan ibadah umrah

Lalu, bagaimana jika seorang wanita mendapatkan panggilan untuk berhaji atau berumrah sementara masa ‘idahnya belum berakhir atau bahkan baru dimulai?

  1. Jika masa ‘iddah karena wafatnya suami, mayoritas ulama sepakat bahwa tidak diperbolehkan bagi wanita tersebut untuk berangkat haji atau umrah sebelum masa ‘iddah selesai. Hal ini karena perintah untuk tetap tinggal di rumah selama masa ‘iddah bersifat wajib, sedangkan ibadah haji bisa ditunda hingga waktu berikutnya.
  2. Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad menegaskan, wanita yang sedang dalam masa ‘iddah karena ditinggal wafat suami tidak boleh melakukan perjalanan jauh, termasuk menuju Tanah Suci, kecuali jika terdapat keadaan darurat yang mendesak dan tidak bisa ditunda.
  3. Pendapat beberapa ulama mengenai “keadaan darurat yang mendesak”:
    • Jika Haji atau Umrah dilakukan setelah istri ihram maka hukumnya boleh melanjutkan atau boleh tidak dilanjutkan/ditunda.
    • Di beberapa negara lain termasuk di Indonesia, pembayaran biaya haji atau umrah biasanya dilakukan jauh hari sebelum keberangkatan. Karena itu, bila seorang wanita kehilangan suaminya menjelang waktu berangkat/sebelum istri ihram maka hukumnya adalah boleh melanjutkan perjalanan ibadahnya apabila ada kekhawatiran uangnya hangus atau sulit menjadwal ulang keberangkatan. Namun, bila tidak ada mudharat atau kerugian besar dalam menunda, maka lebih utama menunggu hingga masa ‘iddah berakhir, agar ibadah dapat dilakukan dengan tenang dan sepenuhnya sesuai syariat.
  4. Sedangkan jika masa ‘iddah karena talak, hukumnya lebih longgar. Sebagian ulama memperbolehkan wanita yang ditalak untuk berangkat haji atau umrah, dengan beberapa syarat penting:
    • Tidak ada larangan dari mantan suami selama masa ‘iddah berlangsung.
    • Menjaga adab dan kehormatan selama perjalanan.
    • Didampingi mahram dan memastikan perjalanannya tidak menimbulkan fitnah.

Menunaikan Haji atau Umrah memang impian setiap Muslim. Namun, bagi seorang wanita dalam masa ‘iddah ketaatan kepada ketetapan Allah harus menjadi prioritas utama. Kecuali jika ada hal mendesak dan kemudharatan besar, syariat memberi ruang untuk kelonggaran. Tetapi jika tidak ada hal mendesak maka menunda keberangkatan hingga masa ‘iddah selesai adalah pilihan terbaik.

Menunda keberangkatan bukanlah bentuk penolakan terhadap panggilan Allah, tetapi manifestasi atas ketaatan yang lebih tinggi. Dengan menaati aturan-aturan ini, seorang Muslimah tidak hanya menjalankan kewajiban syariat, tetapi juga sebagai bentuk ketaatan, kesabaran, dan penghormatan terhadap ketetapan Allah. Masa ‘iddah bukan sekadar menunggu waktu berlalu, tetapi menjadi waktu penyucian diri dan penguatan iman. Sesungguhnya, siapa yang bersabar dan taat pada aturan-Nya, Allah akan menggantinya dengan kebaikan yang lebih besar dan waktu yang lebih indah untuk menunaikan panggilan suci itu.

Referensi :

Keterangan Kitab Bajuri. Juz 2, Fasal Hukum Mu’tadah Wa Anwa’il Mu’tadah. Hal. 323-330

Imam ghozali. Kitab Al Wasith Fil Madzhab. Juz 4, Hal. 155 dan Juz 6. Hal. 155

Imam Zakariya Al Anshori Kitab Ghurorul Bahiyah Fi Syahril Bahjatul Wardiyah. Juz 4, Hal. 362

Chat Dengan Kami
built with : https://safar.co.id